OEI Hong Djien mungkin tak mengira, niatnya mengumpulkan potongan sejarah karya para maestro seni lukis Indonesia dan menyuguhkannya ke publik ternyata berujung "badai". Selama dua bulan terakhir, kolektor seni rupa kenamaan asal Magelang ini dibombardir isu tak sedap.
Museum OHD, yang baru diresmikan pada 5 April lalu, disebut-sebut mengoleksi puluhan lukisan palsu karya tiga maestro: Sudjojono, Hendra Gunawan, dan Soedibio. Atas dasar itu, kolektor lebih dari 2.000 lukisan ini dicap telah merusak dunia seni rupa Indonesia. Lebih gawat lagi, ia dituding terlibat dalam sindikat pemalsuan lukisan-lukisan karya Hendra Gunawan.
Kritik tajam antara lain dilontarkan oleh Amir Sidharta, praktisi balai lelang dan kurator Museum Pelita Harapan. Kritikus seni rupa Agus Dermawan bahkan secara tidak langsung mensejajarkannya dengan peristiwa memalukan 12 tahun silam, saat pameran dan penjualan lukisan-lukisan palsu karya para maestro dunia dan Indonesia digelar di Jakarta (Koran Tempo, 2 Juni 2012).
Sebagai kolektor kawakan bersentuhan dengan karya seni sejak 1960-an langkah Oei memang terbilang berani. Dalam buku Seni dan Mengoleksi Seni, yang diterbitkan Gramedia, ia mengusung konsep kolektor paripurna: kolektor tak sekadar membeli, menyimpan, dan memajang karya yang dimilikinya, tapi juga melestarikan karya seni berkualitas tinggi dan bernilai sejarah, serta mensosialisasinya.
Filosofi inilah yang tampaknya kini justru menyeret Oei ke pusaran badai. Demi memburu karya seni berkualitas tinggi, pernah suatu kali ia "nekat" membeli sebuah lukisan anonim alias tak bertanda tangan. Intuisinya menyatakan, lukisan itu karya maestro Hendra Gunawan, meski beberapa pihak ragu.
Oei memang bukan kolektor yang memilih jalur aman. Risiko itu ia tempuh karena tak mau kehilangan kesempatan mengumpulkan sebanyak mungkin karya para maestro yang terserak hingga ke mancanegara, khususnya yang menggambarkan sejarah perjuangan bangsa. "Lebih baik kehilangan uang (jika ternyata lukisan itu palsu) daripada kehilangan sejarah," katanya.
Lantas, soal niatnya mensosialisasi karya-karya penting ke publik, ia melakukannya dengan membuka museum. Ribuan lukisan koleksinya, yang semula hanya dipamerkan secara terbatas di dua galeri pribadinya, kini mulai dipertontonkan di museum OHD. Oei bahkan menganjurkan para kolektor lain untuk mendirikan museum serupa yang terbuka bagi umum.
Langkahnya itu didasari oleh kenyataan bahwa hingga kini tak cukup intens upaya pemerintah mendirikan museum seni rupa berkualitas. Untuk mengisi kekosongan itu, pihak swasta diharapkan hadir. Banyak contoh kemunculan sejumlah museum terkenal di Amerika Serikat, Eropa, dan juga kini Cina, yang dipelopori oleh para kolektor. Museum of Modern Art (MoMA), yang dirintis oleh keluarga Rockefeller, dan National Art Gallery Washington oleh Andrew Mellon, termasuk di antaranya.
Persoalannya, kini muncul tudingan bahwa sejumlah lukisan di Museum OHD diragukan keasliannya dan bisa menyesatkan publik. Untuk menjernihkan persoalan ini, sikap Oei yang disampaikannya pada forum diskusi di Galeri Nasional patut diapresiasi. Ia membuka pintu dialog dan penelitian ulang atas koleksinya. Oei pun tak keberatan, jika terbukti palsu, lukisan miliknya itu "dilengserkan" dari Museum OHD.
Menanggapi tawaran Oei, yang sesungguhnya kini dibutuhkan adalah penelitian mendalam, bukan sekadar bergunjing. Lazimnya prosedur investigasi, sebuah dugaan awal perlu ditindaklanjuti dengan upaya pengumpulan bukti-bukti, pengamatan langsung, serta verifikasi dan klarifikasi ke berbagai pihak, baik kepada Oei maupun keluarga atau lingkungan dekat si pelukis. Jika perlu, dilakukan penelitian atas cat pada lukisan untuk membuktikan kesahihan umur lukisan tersebut.
Sayangnya, sederet prosedur inilah yang hingga kini alpa dilakukan. Padahal sejumlah fakta menggambarkan, sinyalemen lukisan palsu itu masih perlu diuji lebih jauh dan belum didukung oleh argumen yang sangat kuat. Ambil contoh, penilaian Aminudin T.H. Siregar alias Ucok, peneliti sejarah seni rupa ITB, atas lukisan Soedibio berjudul Perdjalanan ke Langit (1946). Lukisan ini diragukan keasliannya lantaran kanvasnya berukuran jumbo 200 x 300 cm dan tanpa sambungan.
Faktanya, lebar kanvas lukisan itu hanya 150 cm. Tak ada yang janggal dengan ini, sebab lukisan Hendra Gunawan berjudul Aloen-aloen Kidoel", yang dibuat pada tahun yang sama, juga menggunakan kanvas sambungan selebar 150 cm plus 75 cm. Selain itu, argumen bahwa gaya lukisan Soedibio janggal, lantaran bertema perjuangan yang mencekam dan bernuansa kelam, juga tak solid. Sebab, faktanya, ada pula empat lukisan drawing Soedibio milik seorang pelukis di Yogya yang bertema serupa.
Contoh lain adalah seputar keraguan atas lukisan karya Sudjojono berjudul Pangeran Diponegoro. Ucok dan Tedjabayu, putra Sudjojono, sangsi atas keaslian lukisan ini, karena bayonet pada gambar itu dinilai tak sesuai dengan masa perang Diponegoro (1825-1830). Kesalahan seperti ini, menurut keduanya, tak mungkin terjadi, karena Sudjojono sangat teliti dan mendasarkan lukisan-lukisannya pada riset.
Argumen ini bisa saja benar. Tapi, kejanggalan serupa terdapat pada lukisan Sudjojono lainnya yang juga berjudul Pangeran Diponegoro, seperti dimuat pada buku Visible Soul yang ditulis oleh Amir Sidharta. Berdasarkan riset Sarasvati yang didirikan oleh analis finansial Lin Che Wei, di masa itu belum ada bayonet seperti tergambar pada lukisan tersebut.
Bayonet senapan jenis Dutch M1825 Marechaussee, yang berbentuk sangat panjang dan bisa dilipat di bawah senapan, baru muncul pada 1844. Jika begitu, apakah kedua lukisan itu lantas bisa dianggap palsu? Menurut Suatmaji, yang juga peneliti sejarah seni rupa, Sudjojono sebagai seorang pelukis bebas melakukan interpretasi. Lagi pula, lukisan itu sudah lahir pada 1960, sementara Sudjojono baru melakukan penelitian ke Belanda pada 1970-an.
Ada pula cerita menarik seputar lukisan Sudjojono yang berjudul Pertemuan di Tepi Danau di Pegunungan. Menurut cerita Oei, lukisan miliknya ini sempat diragukan keasliannya oleh Amir, saat penyusunan buku Visible Soul. Namun Rose Pandanwangi, istri kedua Sudjojono, tak sepakat, sehingga foto lukisan tersebut akhirnya tetap dimuat di buku itu.
Kwee Ing Tjiong, yang menjadi murid Sudjojono sejak 1969, yakin betul bahwa lukisan yang dibeli Oei dari keluarga Affandi itu asli. "Saya melihat sendiri lukisan itu di kamar Affandi," katanya saat saya menanyakannya langsung. Lukisan ini juga muncul di buku Ketika Kata Ketika Warna, yang turut disusun oleh Agus Dermawan.
Menjawab keraguan terhadap lukisan Sudjojono berjudul Persiapan Serangan Malam, alibi Oei juga cukup masuk akal. Sederet foto proses restorasi lukisan itu di Singapura, yang dibelinya dalam kondisi rusak parah, memperkuat argumennya bahwa itu lukisan tua. Namun sanggahan Ucok, bahwa kini banyak praktek pemalsu yang membuat lukisan agar terkesan berumur tua, perlu pula diwaspadai.
Itu sebabnya, pemeriksaan lebih jauh amat diperlukan. Dan yang terpenting, sudah saatnya negeri ini mengembangkan tradisi dialog dan penelitian yang lebih baik atas karya seni. Semua kegaduhan ini, seperti diungkapkan oleh budayawan Goenawan Mohamad dalam forum diskusi, timbul akibat ketiadaan lembaga dan budaya kritik yang sehat. Perbaikan diperlukan agar perdebatan dalam dunia seni rupa Indonesia tak lagi tereduksi hanya pada urusan stigmatisasi lukisan palsu. ●