Museum Rudana adalah sebuah museum seni yang berada di Ubud, Gianyar, Bali dan digunakan untuk memamerkan dan mempromosikan karya seni berupa lukisan dan patung karya seniman Bali. Di antara karya seni yang dipamerkan adalah karya dari I Gusti Nyoman Lempad (almarhum), Nyoman Gunarsa, Made Wianta,seniman Indonesia di luar Bali seperti Affandi (almarhum), Basuki Abdullah (almarhum), Srihadi Soedarsono, Sunaryo Sutono, maupun seniman asing yang tinggal di Bali seperti Antonio Blanco (almarhum), Arie Smit. Museum Rudana didirikan oleh Nyoman Rudana, seorang kolektor lukisan yang juga pemilik galeri seni Rudana Fine Art Gallery dan Genta Fine Art Gallery.
Museum Rudana didirikan atas dasar idealisme pendirinya, Nyoman Rudana, dimana seni merupakan hal yang universal, sebagai hasilnya, berkontribusi terhadap proses harmonisasi antara manusia dengan Tuhan (parahyangan), antara manusia dengan manusia (pawongan) serta manusia dengn alam sekitarnya (palemahan) yang tercermin dalam konsep filosofis Bali Tri Hita Karana, dimana seni sangat berperan dalam membantu menyebar luaskan perdamaian, kemakmuran serta rasa persauda-raan di antara umat manusia sedunia. Visi humanisme Museum Rudana, yaitu untuk kemaslahatan (manfaat) umat manusia, merupakan filosofi perjuangan Nyoman Rudana dalam mengoleksi lukisan – lukisan yang kini dapat dinikmati di museum ini.
Visi Museum Rudana adalah untuk mempertahankan eksistensinya, mutlak bagi Museum Rudana untuk menjalin kerjasama dengan berbagai pihak, dengan melibatkan masyarakat dan seniman ke dalam aktivitas museum, serta menjalin hubungan baik dengan sesama museum khususnya di Bali,. Untuk itu Museum Rudana menjadi anggota HIMUSBA (Himpunan Museum Bali), dimana Nyoman Rudana merupakan salah satu penggagasnya dan saat ini menjabat sebagai anggota Dewan Penasehat HIMUSBA sedangkan Putu Supadma Rudana, MBA menjadi Ketua III.
Dalam visinya untuk selalu menjadi yang terdepan dalam kancah senirupa Indonesia serta menjadikan dirinya sejajar dengan museum- museum besar di dunia, Museum Rudana terus menerus menjalin network dengan berbagai institusi museum internasional, terlebih melihat posisi Bali, sebagai salah satu sentra pariwisata di Asia tenggara, berpotensi menjadi satu titik jaringan museum di dunia.
Obsesi pendirian museum ini diawali saat Nyoman Rudana menyaksikan bahwa begitu banyak hasil karya seni kuno Indonesia diboyong ke luar negeri. Tergerak untuk melestarikan karya – karya seni terbaik anak bangsa inilah kemudian Museum Rudana ini didirikan.
Bangunan seluas 500 meter persegi ini didirikan di atas lahan seluas 2.500 meter persegi di Kawasan Seni Rudana di Peliatan, Ubud, Kabupaten Gianyar,Bali, satu kompleks dengan Rudana Fine Art Gallery. Peletakan batu pertamanya dilakukan pada tanggal 22 Desember 1990.
Museum sendiri dalam runtutan etimologinya berasal dari kata bahasa Latin musee, atau musea, yang artinya ilmu pengetahuan, cahaya yang menerangi serta kekayaan kepada kehidupan. Sejalan dengan perkembangan bahasa, arti kata museum berubah menjadi kata benda yang lebih kongkrit, yaitu gedung penyimpanan benda – benda yang bernilai untuk menambah dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Benda – benda yang ditampilkan di dalam museum tidak diperjual belikan, demikian juga dengan karya – karya seni yang ditampilkan di dalam Museum Rudana. Selain itu, sejalan dengan visi Nyoman Rudana sebagai pendiri untuk mendedikasikan Museum Rudana untuk dinikmati khalayak berbagai kalangan, Museum Rudana merupakan suatu institusi non profit.
Museum Rudana terdiri dari tiga lantai dengan memegang teguh arsitektur serta filosofi Bali. Ruangan museum dibangun berlantai 3 dimana disesuaikan dengan konsep Triangga, tiga bagian dari tubuh manusia, yaitu kepala , badan serta anggota gerak; Tri Mandalla , tiga pembagian halaman, jeroan, jaba tengah dan jaba sisi, atau halaman dalam, tengah dan luar; Tri Loka, konsep alam semesta yang terbagi atas bhur, bwah, swah atau alam bawah, menengah dan atas. Keseluruhnya konsep ini, yang dihubungkan dengan pengembangan seni budaya di Bali merupakan gambaran proses regenerasi dari waktu ke waktu yang lekang oleh zaman. Konsep filosofis ini, jika dikaitkan dengan perkembangan seni rupa, mencerminkan regenerasi seniman itu sendiri, dari masa silam sampai masa kini, bagaikan rangkaian benang emas yang tak terputus. Tampak luar Museum Rudana sendiri mencerminkan bendera merah putih, dilambangkan dengan dinding bata merah dan batu paras putih.
Berlokasi strategis di tengah lintas Ubud, Gianyar danDenpasar, Museum Rudana menjadi destinasi wisatawan pada masa sekarang ini, terlebih dengan semakin kondusifnya perkembangan dunia senirupa Indonesia.
Museum Rudana didirikan atas dasar idealisme pendirinya, Nyoman Rudana, dimana seni merupakan hal yang universal, sebagai hasilnya, berkontribusi terhadap proses harmonisasi antara manusia dengan Tuhan (parahyangan), antara manusia dengan manusia (pawongan) serta manusia dengn alam sekitarnya (palemahan) yang tercermin dalam konsep filosofis Bali Tri Hita Karana, dimana seni sangat berperan dalam membantu menyebar luaskan perdamaian, kemakmuran serta rasa persauda-raan di antara umat manusia sedunia. Visi humanisme Museum Rudana, yaitu untuk kemaslahatan (manfaat) umat manusia, merupakan filosofi perjuangan Nyoman Rudana dalam mengoleksi lukisan – lukisan yang kini dapat dinikmati di museum ini.
Visi Museum Rudana adalah untuk mempertahankan eksistensinya, mutlak bagi Museum Rudana untuk menjalin kerjasama dengan berbagai pihak, dengan melibatkan masyarakat dan seniman ke dalam aktivitas museum, serta menjalin hubungan baik dengan sesama museum khususnya di Bali,. Untuk itu Museum Rudana menjadi anggota HIMUSBA (Himpunan Museum Bali), dimana Nyoman Rudana merupakan salah satu penggagasnya dan saat ini menjabat sebagai anggota Dewan Penasehat HIMUSBA sedangkan Putu Supadma Rudana, MBA menjadi Ketua III.
Dalam visinya untuk selalu menjadi yang terdepan dalam kancah senirupa Indonesia serta menjadikan dirinya sejajar dengan museum- museum besar di dunia, Museum Rudana terus menerus menjalin network dengan berbagai institusi museum internasional, terlebih melihat posisi Bali, sebagai salah satu sentra pariwisata di Asia tenggara, berpotensi menjadi satu titik jaringan museum di dunia.
Obsesi pendirian museum ini diawali saat Nyoman Rudana menyaksikan bahwa begitu banyak hasil karya seni kuno Indonesia diboyong ke luar negeri. Tergerak untuk melestarikan karya – karya seni terbaik anak bangsa inilah kemudian Museum Rudana ini didirikan.
Bangunan seluas 500 meter persegi ini didirikan di atas lahan seluas 2.500 meter persegi di Kawasan Seni Rudana di Peliatan, Ubud, Kabupaten Gianyar,Bali, satu kompleks dengan Rudana Fine Art Gallery. Peletakan batu pertamanya dilakukan pada tanggal 22 Desember 1990.
Museum sendiri dalam runtutan etimologinya berasal dari kata bahasa Latin musee, atau musea, yang artinya ilmu pengetahuan, cahaya yang menerangi serta kekayaan kepada kehidupan. Sejalan dengan perkembangan bahasa, arti kata museum berubah menjadi kata benda yang lebih kongkrit, yaitu gedung penyimpanan benda – benda yang bernilai untuk menambah dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Benda – benda yang ditampilkan di dalam museum tidak diperjual belikan, demikian juga dengan karya – karya seni yang ditampilkan di dalam Museum Rudana. Selain itu, sejalan dengan visi Nyoman Rudana sebagai pendiri untuk mendedikasikan Museum Rudana untuk dinikmati khalayak berbagai kalangan, Museum Rudana merupakan suatu institusi non profit.
Museum Rudana terdiri dari tiga lantai dengan memegang teguh arsitektur serta filosofi Bali. Ruangan museum dibangun berlantai 3 dimana disesuaikan dengan konsep Triangga, tiga bagian dari tubuh manusia, yaitu kepala , badan serta anggota gerak; Tri Mandalla , tiga pembagian halaman, jeroan, jaba tengah dan jaba sisi, atau halaman dalam, tengah dan luar; Tri Loka, konsep alam semesta yang terbagi atas bhur, bwah, swah atau alam bawah, menengah dan atas. Keseluruhnya konsep ini, yang dihubungkan dengan pengembangan seni budaya di Bali merupakan gambaran proses regenerasi dari waktu ke waktu yang lekang oleh zaman. Konsep filosofis ini, jika dikaitkan dengan perkembangan seni rupa, mencerminkan regenerasi seniman itu sendiri, dari masa silam sampai masa kini, bagaikan rangkaian benang emas yang tak terputus. Tampak luar Museum Rudana sendiri mencerminkan bendera merah putih, dilambangkan dengan dinding bata merah dan batu paras putih.
Berlokasi strategis di tengah lintas Ubud, Gianyar danDenpasar, Museum Rudana menjadi destinasi wisatawan pada masa sekarang ini, terlebih dengan semakin kondusifnya perkembangan dunia senirupa Indonesia.
Berlogo sama dengan Rudana Fine Art Gallery, yaitu Rama, sang ksatria dalam cerita Ramayana yang sedang menarik anak panahnya, yang melambangkan cinta sejatinya kepada Sinta. Sinta dilambangkan sebagai umat manusia, anak- anak Ibu Pertiwi. Di sini Nyoman Rudana secara simbolis mempersembahkan Museum Rudana untuk Indonesia, dalam skala mikro serta masyarakat dunia dalam skala makro, sebagai sarana belajar bagi bangsa Indonesia dalam memahami dan mengagumi karya bangsanya sendiri, termasuk karya- karya seni agung para seniman pada masa lampau. Sedangkan bagi penikmat seni manca negara, Museum Rudana merupakan jembatan yang memberikan benang merah antara sejarah seni rupa Indonesia pada masa lampau dengan seni rupa modern. Selain itu kesamaan logo tsb dimaksudkan bahwa Rudana Fine Art Gallery dan Museum Rudana merupakan kesatuan yang tak terpisahkan.
Berbagai karya seni lukis dan seni patung dipamerkan dalam museum ini, baik karya seniman Bali, seniman Indonesia di luar Bali maupun seniman asing. Penataan karya seninya selalu diupayakan agar mencerminkan nilai- nilai tata ruang, nilai estetis yang harmonis dan selaras dengan konsep filosofi Bali. Karya seni lukis Bali klasik dipajang di lantai atas. Di sekelilingnya dipajang lukisan traditional Bali yang meliputi gaya Ubud, gaya Batuan, seperti misalnya karya- karya I Gusti Nyoman Lempad (almarhum), I Gusti Ketut Kobot, Ida Bagus Made, Wayan Bendi, Wayan Jujul dan lain sebagainya.
Di lantai tengah dan bawah dipajang karya seni lukis modern Indonesia seperti lukisan : Affandi (almarhum), Basuki Abdullah (almarhum), Soepono (almarhum), Dullah, Fadjar Sidik, Abas Alibasah, Srihadi Soedarsono, Roedyat, Kartika Affandi, Nyoman Gunarsa, Made Wianta, Made Budhiana, Wayan Darmika dan lain – lain.
Museum ini juga menampilkan karya – karya pelukis asing yang bermukim di Bali, seperti Antonio Blanco (Spanyol), Yuri Gorbachev (Rusia), Jafar Islah(Kuwait), serta Iyama Tadayuki (Jepang).
Acara pembukaan Museum Rudana dilakukan pada tanggal 11 Agustus 1995 sebagai bagian dari peringatan 50 Tahun Indonesia Merdeka. Presiden Soeharto meresmikannya dengan penandatanganan prasasti pada tanggal 26 Desember 1995. Sejak tahun 2004, sejalan dengan tugsnya sebagai anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD)mewakili Propinsi Bali, Nyoman Rudana menyerahkan tongkat estafet kepada putra sulungnya Putu Supadma Rudana, MBA sebagai CEO dari Museum Rudana, sedangkan Rudana sendiri bereran sebagai Komisaris.
Museum Rudana merupakan puncak perwujudan impian Nyoman Rudana dalam bidang seni, yang dipersembahkan untuk rakyat Indonesia, negara serta simbol persaudaraan antara manusia di manapun berada. Proses pencapaian diibaratkannya sebagai proses kehidupan manusia itu sendiri, dari bayi, anak, sampai tumbuh menjadi manusia dewasa.
Museum Rudana, dengan koleksi lebih dari 400 lukisan dan patung, merupakan saksi sejarah perkembangan senirupa khususnya seni lukis di Indonesia.
Dalam perjalanannya, Museum Rudana memposisikan diri sebagai high end museum, yang dikunjungi oleh para tamu VIP dari berbagai Negara, seperti Presiden Cina Jiang Zemin tahun 1995, Presiden Hongaria, Bulgaria, Pakistan, mantan Presiden Amerika Jimmy Carter, Delegasi Dewan Rakyat Cina tahun 2005 dan lain – lain. Selain itu Museum Rudana rutin menggelar pameran baik yang dikaitkan dengan Hari Ulang Tahun nya di bulan Agustus yang selalu dikaitkan dengan HUT Kemerdekaan RI, maupun pameran – pameran lain dengan bekerjasama dengan seniman di Bali, luar Bali maupun seniman luar negeri.
Sebagai upaya memperkenalkan seni budaya Indonesia di manca negara, khsususnya seni lukis Indonesia, melalui Rudana Fine Art Gallery, Nyoman Rudana untuk pertama kalinya menggelar pameran lukisan besar di Jerman Barat (Dusseldorf, Sigbourg) serta di Berlin Barat dan Italia (Roma, Milano, Bergamo) pada bulan Agustus sampai Oktober 1981. Pada tahun 1991, Rudana bergabung ke dalam road show The Great Indonesian Exhibition yang diselenggarakan oleh KIAS (Kesenian Indonesia – Amerika Serikat) secara marathon di enam Negara Bagian yang berbeda di Amerika Serikat.
Setelah Museum Rudana berdiri, maka Nyoman Rudana membawa bendera Museum Rudana mengadakan pameran lukisan di Kuwaittanggal 14 – 24 Februari 1997 : Indonesian Arts of Bali Exhibition di Kuwait National Council for Culture, Art and Letters, Kuwait City, menampilkan koleksi lukisan Museum Rudana. Setahun berikutnya, 14 Nopember – 11 Desember 1998 kembali Museum Rudana berpameran di Kuwait mengusung tema Seven Indonesian Figurative Artists Exhibition dengan menampilkan pelukis Widayat,Sudarso, Mohammed, Erica Hestu Wahyuni, I Wayan Darmika, I Wayan Bendi,Abas Alibasah. Pameran diselenggarakan di Kuwait City, dalam rangkaian acara The Annual Qurain Festival.
Hal ini menunjukkan bahwa seni melampaui batas – batas negara serta agama, dimana seorang Rudana yang beragama Hindu, diterima dengan baik oleh Emir Kuwait dan karya – karya lukis yang berobjek manusia dan alam yang dipamerkannya akhirnya menjadi trend setter dalam dunia seni lukis di Kuwait, mengingat kala itu, hanya lukisan kaligrafilah yang mendominasi dunia seni lukis di kawasan Timur Tengah.
Selanjutnya pada tahun 2000, Musuem Rudana dan Rudana Fine Art Gallery berpameran di Roma, Italia,dan beberapa bulan kemudian, Nyoman Rudana kembali diundang ke Italia oleh pemerintah Italia untuk menerima penghargaan L’albero dell’umanita Award atau penghargaan Pohon Perdamaian.
Museum Rudana melakukan perhelatan pameran besar pada tahun 2007 dalam rangka ulang tahunnya yang ke -12, yang diselenggarakan tanggal 16 Agustus – 1 Januari 2008 Pameran bertajuk Modern Indonesian Masters ini menampilkan karya lukis dari delapan orang maestro seni lukis modern Indonesia serta para Masters in waiting (calon maestro), yaitu : Srihadi Soedarsono, Nyoman Gunarsa, Made Wianta, Sunaryo Sutono, Nyoman Erawan, Made Budiana, Made Djirna, Wayan Darmika. Di samping pameran lukisan, diselenggarakan pula pameran fotografi tanggal 16 – 31 Agustus 2007, bertajuk ‘KEDAMAIAN’ . Ini merupakan sebuah proyek seni fotografi yang melibatkan tiga seniman di tiga benua, yaitu Mohammad Bundhowi (Indonesia), Anna Niblic Heggie (Australia), Sandra Phillips (Kanada).
Nyoman Rudana menciptakan Ksatria Seni Award pada tahun 1999 sebagai wujud darma baktinya kepada para seniman Indonesia yang sudah memberi dukungan penuh kepadanya sehingga mampu mewujudkan cita – citanya dalam mendirikan Museum Rudana dan membesarkan Rudana Fine Art Gallery serta Genta Fine Art Gallery. Ide dasar penghargaan ini berasal dari cerita Ramayana,dengan menarik benang merah dari logo Rudana Fine Art Gallery dan Museum Rudana. Nyoman Rudana memilih anak panah Rama, sang ksatria, sebagai logo dari penghargaan seni ini. Anak panah ini melambangkan cinta Rama kepada Sinta istrinya, dimana Sinta merupakan gambaran dari Ibu Pertiwi. Ksatria Seni Award diberikan empat tahun sekali kepada individu,serta institusi yang dianggap berjasa dalam mengembangkan seni rupa di Indonesia. Selain itu kedamaian serta kemakmuran, berdasarkan toleransi dan harmonisasi antara manusia dengan Tuhannya, dengan sesamanya serta dengan alam sekitarnya, atau Tat Wam Asi, serta pembebasan dari hal – hal keduniawian atau Moksa Tam Jagat Dhitam, juga tercermin dalam desain penghargaan ini.
Penghargaan ini diberikan pertama kali pada 26 Desember 1999 antara lain kepada para almarhum / almarhumah Soekarno, Presiden pertama RI, ibu Hj.Siti Hartinah Soeharto, Prof. Dr. Ida Bagus Mantra, mantan gubernur Bali tahun 1978-1988 yang berjasa dalampelestarian budaya Bali, dan I Gusti Ketut Kobot, pelukis legendaris tradisional Bali. Sedangkan penghargaan kedua diberikan pada tanggal 8 Agustus 2004, kepada Srihadi Soedarsono, Nyoman Gunarsa, Made Wianta serta pelukis Malaysia yang bermukim di Bali, Mrs. Kumari Nahappan atas sumbangsihnya terhadap dunia seni lukis dan seni rupa Indonesia.
Berbagai karya seni lukis dan seni patung dipamerkan dalam museum ini, baik karya seniman Bali, seniman Indonesia di luar Bali maupun seniman asing. Penataan karya seninya selalu diupayakan agar mencerminkan nilai- nilai tata ruang, nilai estetis yang harmonis dan selaras dengan konsep filosofi Bali. Karya seni lukis Bali klasik dipajang di lantai atas. Di sekelilingnya dipajang lukisan traditional Bali yang meliputi gaya Ubud, gaya Batuan, seperti misalnya karya- karya I Gusti Nyoman Lempad (almarhum), I Gusti Ketut Kobot, Ida Bagus Made, Wayan Bendi, Wayan Jujul dan lain sebagainya.
Di lantai tengah dan bawah dipajang karya seni lukis modern Indonesia seperti lukisan : Affandi (almarhum), Basuki Abdullah (almarhum), Soepono (almarhum), Dullah, Fadjar Sidik, Abas Alibasah, Srihadi Soedarsono, Roedyat, Kartika Affandi, Nyoman Gunarsa, Made Wianta, Made Budhiana, Wayan Darmika dan lain – lain.
Museum ini juga menampilkan karya – karya pelukis asing yang bermukim di Bali, seperti Antonio Blanco (Spanyol), Yuri Gorbachev (Rusia), Jafar Islah(Kuwait), serta Iyama Tadayuki (Jepang).
Acara pembukaan Museum Rudana dilakukan pada tanggal 11 Agustus 1995 sebagai bagian dari peringatan 50 Tahun Indonesia Merdeka. Presiden Soeharto meresmikannya dengan penandatanganan prasasti pada tanggal 26 Desember 1995. Sejak tahun 2004, sejalan dengan tugsnya sebagai anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD)mewakili Propinsi Bali, Nyoman Rudana menyerahkan tongkat estafet kepada putra sulungnya Putu Supadma Rudana, MBA sebagai CEO dari Museum Rudana, sedangkan Rudana sendiri bereran sebagai Komisaris.
Museum Rudana merupakan puncak perwujudan impian Nyoman Rudana dalam bidang seni, yang dipersembahkan untuk rakyat Indonesia, negara serta simbol persaudaraan antara manusia di manapun berada. Proses pencapaian diibaratkannya sebagai proses kehidupan manusia itu sendiri, dari bayi, anak, sampai tumbuh menjadi manusia dewasa.
Museum Rudana, dengan koleksi lebih dari 400 lukisan dan patung, merupakan saksi sejarah perkembangan senirupa khususnya seni lukis di Indonesia.
Dalam perjalanannya, Museum Rudana memposisikan diri sebagai high end museum, yang dikunjungi oleh para tamu VIP dari berbagai Negara, seperti Presiden Cina Jiang Zemin tahun 1995, Presiden Hongaria, Bulgaria, Pakistan, mantan Presiden Amerika Jimmy Carter, Delegasi Dewan Rakyat Cina tahun 2005 dan lain – lain. Selain itu Museum Rudana rutin menggelar pameran baik yang dikaitkan dengan Hari Ulang Tahun nya di bulan Agustus yang selalu dikaitkan dengan HUT Kemerdekaan RI, maupun pameran – pameran lain dengan bekerjasama dengan seniman di Bali, luar Bali maupun seniman luar negeri.
Sebagai upaya memperkenalkan seni budaya Indonesia di manca negara, khsususnya seni lukis Indonesia, melalui Rudana Fine Art Gallery, Nyoman Rudana untuk pertama kalinya menggelar pameran lukisan besar di Jerman Barat (Dusseldorf, Sigbourg) serta di Berlin Barat dan Italia (Roma, Milano, Bergamo) pada bulan Agustus sampai Oktober 1981. Pada tahun 1991, Rudana bergabung ke dalam road show The Great Indonesian Exhibition yang diselenggarakan oleh KIAS (Kesenian Indonesia – Amerika Serikat) secara marathon di enam Negara Bagian yang berbeda di Amerika Serikat.
Setelah Museum Rudana berdiri, maka Nyoman Rudana membawa bendera Museum Rudana mengadakan pameran lukisan di Kuwaittanggal 14 – 24 Februari 1997 : Indonesian Arts of Bali Exhibition di Kuwait National Council for Culture, Art and Letters, Kuwait City, menampilkan koleksi lukisan Museum Rudana. Setahun berikutnya, 14 Nopember – 11 Desember 1998 kembali Museum Rudana berpameran di Kuwait mengusung tema Seven Indonesian Figurative Artists Exhibition dengan menampilkan pelukis Widayat,Sudarso, Mohammed, Erica Hestu Wahyuni, I Wayan Darmika, I Wayan Bendi,Abas Alibasah. Pameran diselenggarakan di Kuwait City, dalam rangkaian acara The Annual Qurain Festival.
Hal ini menunjukkan bahwa seni melampaui batas – batas negara serta agama, dimana seorang Rudana yang beragama Hindu, diterima dengan baik oleh Emir Kuwait dan karya – karya lukis yang berobjek manusia dan alam yang dipamerkannya akhirnya menjadi trend setter dalam dunia seni lukis di Kuwait, mengingat kala itu, hanya lukisan kaligrafilah yang mendominasi dunia seni lukis di kawasan Timur Tengah.
Selanjutnya pada tahun 2000, Musuem Rudana dan Rudana Fine Art Gallery berpameran di Roma, Italia,dan beberapa bulan kemudian, Nyoman Rudana kembali diundang ke Italia oleh pemerintah Italia untuk menerima penghargaan L’albero dell’umanita Award atau penghargaan Pohon Perdamaian.
Museum Rudana melakukan perhelatan pameran besar pada tahun 2007 dalam rangka ulang tahunnya yang ke -12, yang diselenggarakan tanggal 16 Agustus – 1 Januari 2008 Pameran bertajuk Modern Indonesian Masters ini menampilkan karya lukis dari delapan orang maestro seni lukis modern Indonesia serta para Masters in waiting (calon maestro), yaitu : Srihadi Soedarsono, Nyoman Gunarsa, Made Wianta, Sunaryo Sutono, Nyoman Erawan, Made Budiana, Made Djirna, Wayan Darmika. Di samping pameran lukisan, diselenggarakan pula pameran fotografi tanggal 16 – 31 Agustus 2007, bertajuk ‘KEDAMAIAN’ . Ini merupakan sebuah proyek seni fotografi yang melibatkan tiga seniman di tiga benua, yaitu Mohammad Bundhowi (Indonesia), Anna Niblic Heggie (Australia), Sandra Phillips (Kanada).
Nyoman Rudana menciptakan Ksatria Seni Award pada tahun 1999 sebagai wujud darma baktinya kepada para seniman Indonesia yang sudah memberi dukungan penuh kepadanya sehingga mampu mewujudkan cita – citanya dalam mendirikan Museum Rudana dan membesarkan Rudana Fine Art Gallery serta Genta Fine Art Gallery. Ide dasar penghargaan ini berasal dari cerita Ramayana,dengan menarik benang merah dari logo Rudana Fine Art Gallery dan Museum Rudana. Nyoman Rudana memilih anak panah Rama, sang ksatria, sebagai logo dari penghargaan seni ini. Anak panah ini melambangkan cinta Rama kepada Sinta istrinya, dimana Sinta merupakan gambaran dari Ibu Pertiwi. Ksatria Seni Award diberikan empat tahun sekali kepada individu,serta institusi yang dianggap berjasa dalam mengembangkan seni rupa di Indonesia. Selain itu kedamaian serta kemakmuran, berdasarkan toleransi dan harmonisasi antara manusia dengan Tuhannya, dengan sesamanya serta dengan alam sekitarnya, atau Tat Wam Asi, serta pembebasan dari hal – hal keduniawian atau Moksa Tam Jagat Dhitam, juga tercermin dalam desain penghargaan ini.
Penghargaan ini diberikan pertama kali pada 26 Desember 1999 antara lain kepada para almarhum / almarhumah Soekarno, Presiden pertama RI, ibu Hj.Siti Hartinah Soeharto, Prof. Dr. Ida Bagus Mantra, mantan gubernur Bali tahun 1978-1988 yang berjasa dalampelestarian budaya Bali, dan I Gusti Ketut Kobot, pelukis legendaris tradisional Bali. Sedangkan penghargaan kedua diberikan pada tanggal 8 Agustus 2004, kepada Srihadi Soedarsono, Nyoman Gunarsa, Made Wianta serta pelukis Malaysia yang bermukim di Bali, Mrs. Kumari Nahappan atas sumbangsihnya terhadap dunia seni lukis dan seni rupa Indonesia.